KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah ini dengan judul “ TUBERCULOSIS
“. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah KMB
Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Fort De Kock Bukittinggi.
Dalam menyusun makalah ilmiah ini, penulis banyak
memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan
kepada teman teman yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya.
Bukittinggi,
April 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit pada sistem pernafasan merupakan
masalah yang sudah umum terjadi di masyarakat. Dan TB paru merupakan penyakit
infeksi yang menyebabkan kematian dengan urutan atas atau angka kematian
(mortalitas) tinggi, angka
kejadian penyakit (morbiditas),
diagnosis dan terapi yang cukup lama. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada
negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah.
Di Indonesia TB paru merupakan penyebab
kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA.
Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah
penderita TB paru di dunia.
Micobacterium tuberculosis (TB) telah
menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia
diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara
berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya
dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di
negara-negara berkembang. Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah
penderita TB akan meningkat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun
1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan
usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979-1982 telah dilakukan
survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000
penduduk. Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3
penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah
sakit/klinik pemerintah dan swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku
unit pelayanan kesehatan. Sedangkan kematian karena TB diperkirakan 175.000 per
tahun.
Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok
usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi
rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) atau pengawasan langsung
menelan obat jangka pendek/setiap hari baru mencapai 36% dengan angka
kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan
angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak
teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di masa lalu kemungkinan telah
timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas
atau multi drug resistance (MDR).
1.2 Rumusan
masalah- Bagaimana TB Paru pada klien dewasa bisa terjadi ?
- Apa tanda dan gejala yang muncul (manifestasi klinis) dari TB Paru pada klien dewasa ?
- Apa pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
- Bagaimana cara menangani gangguan pernapasan akibat penyakit TB Paru klien dewasa ?
- Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada
klien dewasa dengan gangguan TB Paru.
Tujuan Khusus
- Menjelaskan konsep dasar TB paru
- Menjelaskan asuhan keperawatan klien dewasa dengan TB paru, meliputi :
o
pengkajian
TB paru
o
Mengidentifikasi
diagnosa keperawatan pada klien dewasa dengan TB paru
o
Melakukan
perencanaan pada klien dewasa dengan TB paru
1.4 Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penyusunan
makalah ini adalah:
- Mendapatkan pengetahuan tentang TB Paru
- Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan TB Paru
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian TB Paru
TB Paru adalah penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian
besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Dep
Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).
2.2 Etiologi
Penyakit TB Paru disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut
pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun.
Sumber penularan adalah penderita TB BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk
kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari
paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis
1.
Herediter:
resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara genetik.
2.
Jenis
kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan lebih
banyak terjadi pada anak perempuan.
3.
Usia : pada
masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.
4.
Pada masa
puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan
infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat.
5.
Keadaan
stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi,
stress emosional, kelelahan yang kronik)
6.
Meningkatnya
sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk
penyebarluasan infeksi.
7.
Anak yang
mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah.
8. Nutrisi ; status nutrisi kurang
9. Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis.
10. Tidak mematuhi aturan pengobatan.
2.3 Patofisiologi
Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin,
atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke
tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu
udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke
udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang
terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini
terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberkolosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan air-borne infection. Bakteri yang
terisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga
alveoli. Pada titik lokasi di mana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan
menggandakan diri (multiplying). Bakteri
tuberkolosis dan fokus ini disebut fokus primer atau lesi primer (fokus Ghon).
Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang bersama dengan fokus
primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang baru
terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap tes tuberkulin atau tes Mantoux.
Berpangkal
dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai
jalan, yaitu:
1) Percabangan bronkhus
Dapat mengenai area paru atau melalui sputum
menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring), maupun ke saluran pencernaan.
2) Sistem saluran limfe
Menyebabkan adanya regional limfadenopati
atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan penyebaran lewat darah melalui
duktus limfatikus dan menimbulkan tuberkulosis milier.
3) Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi
paru dapat membawa atau mengangkut material yang mengandung bakteri
tuberkulosis dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran
darah, yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.
4) Rektifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)
Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka
infeksi primer tidak berkembang lebih jauh dan bakteri tuberkulosis tak dapat
berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat
kondisi inang melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang melemahkan
daya tahan tubuh terlalu lama, maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat
aktif kembali. Inilah yang disebut reaktifasi infeksi primer atau infeksi
pasca-primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer
terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat diakibatkan oleh bakteri
tuberkulosis yang baru masuk ke tubuh (infeksi baru), bukan bakteri dorman yang
aktif kembali. Biasanya organ paru tempat timbulnya infeksi pasca-primer
terutama berada di daerah apeks paru.
5) Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB
dari penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus
dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam
paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus
paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya
tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant
(tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan
kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi
sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
6) Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi
setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya
tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri
khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.
7) Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 %
dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan
tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO 1996).
8) Pengaruh Infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi
infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi
sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah horang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
2.4 Klasifikasi TB Paru
Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :
Berdasarkan organ yang terinvasi
a.TB Paru adalah
tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput
paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2, yaitu :
o
TB Paru BTA Positif Disebut TB Paru BTA (+) apabila
sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya
positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru
menunjukan gambaran TB aktif.
o TB Paru BTA Negatif Apabila dalam 3
pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan pemeriksaan radiologi dada
menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi
positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan, bila menunjukan keparahan yakni
kerusakan luas dianggap berat.
b. TB ekstra paru yaitu
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu :
o TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar
limfe, pleura, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
o TB ekstra paru berat seperti meningitis,
pericarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran kencing dan alat
kelamin.
Berdasarkan tipe penderita
Tipe
penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe penderita :
- Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan.
- Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
- Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
- Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
- TB anak lokasinya pada setiap bagian paru, sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan infra klavikuler
- Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran kelenjar limfe regional
- Penyembuhan dengan perkapuran sedangkan pada dewasa dengan fibrosis
- Lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, pada dewasa jarang
2.5 Manifestasi Klinis
Diagnosa TB berdasarkan gejala/manifestasi
klinis dibagi menjadi 3, diantaranya:
1. Gejala respiratorik, meliputi:
a.
Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan
gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif
kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b.
Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak
bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan
darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena
pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar
kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c.
Sesak nafas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim
paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothorax, anemia dan lain-lain.
d.
Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri
pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura
terkena.
2. Gejala sistemik meliputi:
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai
biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul
dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin
pendek.
b. Gejala sistemik lain :
Gejala sistemik lain ialah keringat malam,
anoreksia, penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya
gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk,
panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala
pneumonia.
3.
Gejala Tuberkulosis ekstra Paru
Tergantung
pada organ yang terkena, misalnya : limfedanitis tuberkulosa. Meningitsis
tuberkulosa, dan pleuritis tuberkulosa.
Gejala klinis Hemoptoe :
Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari
nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :
o
Batuk darah
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif
a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan
b. Darah berbuih bercampur udara
c. Darah segar berwarna merah muda
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia kadang-kadang terjadi
f. Benzidin test negatif
o
Muntah darah
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif
a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual
b. Darah bercampur sisa makanan
c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung
d. Darah bersifat asam
e. Anemia seriang terjadi
f. Benzidin test positif
o
Epistaksis
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi
a. Darah menetes dari hidung
b. Batuk pelan kadang keluar
c. Darah berwarna merah segar
d. Darah bersifat alkalis
e. Anemia jarang terjadi
Gejala-gejala tersebut diatas
dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC. Oleh sebab itu orang yang datang
dengan gejala diatas harus dianggap sebagai seorang “suspek tuberkulosis” atau
tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif
dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
2.6 Pemeriksaan
DiagnostikPemeriksaan sputum (S-P-S)
Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan
karena dengan pemeriksaan tersebut akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang
sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di
lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum,
terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air
sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan
memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi
larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat
diperoieh dengan cara bronkos kopi diambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat
dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya
sesegar mungkin. Bila sputum sudah didapat. kuman BTA pun kadang-kadang sulit
ditemukan. Kuman bant dapat dkcmukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit
ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.
Kriteria
sputum BTA positif adalah bila
sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata
lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mil sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil
tahan asam) (+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml
sputum, sedangkan untuk mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan
diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. Hasil kultur
memerlukan waktu tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka sensitiviti 18-30%.
Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan
pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan
sering digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan
infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang
menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun
78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat
dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang
spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang
cara mantoux lebih sering digunakan.
Lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi.
Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks,
sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan adanya gejala subjektif
awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila
pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus
mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya berada di sekitar
hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque
yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang
kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau
suatu proses edukatif, yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna
untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan
dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama
baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang lengkap serinng kali
terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi pada
penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada klien dengan
penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap berasal dari tingkat
eksudatif yang besar.
Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan
hubungan kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran
garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan
adenopati, perubahan kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan
emifesema perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan
bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan CT scan pada
pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif
dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat
diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe,
yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier subakut (kronis). Penyebaran
milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh invasi
pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang
berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil
pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier.
Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi
parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul kecil. Pada beberapa
klien, didapat bentuk berupa granul-granul halus atau nodul-nodul yang sangat
kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai
bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya dan
masing-masing berupa garis-garis tajam.
Pemeriksaan
Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh
dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan
spesies Mycobacterium antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan
kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan tehadap binatang
percobaan, dan percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen
Mycobacterium. Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru
walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya
peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan
IgA.
2.7
PenatalaksanaanPenatalaksanaan tuberkulosis antara lain :
2.7.1 Pencegahan
Tuberkulosis Paru
- Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
- Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswa-siswi pesantren.
·
Vaksinasi BCG
·
Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu
pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi
kelompok berikut: bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif
karena resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja di bawah
20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita
TB yang menular, individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari
negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
·
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit
tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah
sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia – PPTI).
2.7.2
Pengobatan Tuberkulosis Paru
Mekanisme
kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :
- Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
- Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
- Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua
fase yaitu
1.
Fase intensif (2-3 bulan) :
Tujuan tahapan awal adalah
membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya
dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri
dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien
yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the
British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu
INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15
mg/kgBB.
2.
Fase lanjutan (4-7 bulan).
Selama fase lanjutan diperlukan
lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Penggunaan 4 obat
selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko
terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint
Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society fase
lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan
ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap
INH.
Pada pasien yang pernah diobati
ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat
untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal
sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Paduan
obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004).
Untuk program nasional
pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori
penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program.
Untuk itu, penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:
1.
Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru
dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti
meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau
bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum
negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan
sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH
dan rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap lanjutan ).
2.
Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal
dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :
diberikan kepada :
- Penderita kambuh
- Penderita gagal terapi
- Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
3.
Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )
Kategori III adalah kasus sputum
negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru selain
yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis
kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan rendah
sekali.
Obat-obatan anti tuberkulostatik
1.
Isoniazid (INH) : merupakan
obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti rifampisin, INH harus
diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada
kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang
biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes,
alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini
perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal
pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang
terjadi.
2.
Rifampisin : merupakan
komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana halnya INH,
rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada kontra indikasi. Pada
dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan
sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya
tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi gangguan fungsi
hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien dengan
riwayat penyakit hati. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga
mempercepat metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin,
sulfonilurea, dan anti-koagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi oral akan
berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.
3.
Pyrazinamid : bersifat
bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek
terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini sangat
bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak
aktif terhadap Mycrobacterium bovis. Toksifitas
hati yang serius kadang-kadang terjadi.
4.
Etambutol : digunakan dalam regimen
pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko resistensi rendah, obat ini
dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan
dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15 mg/kg/hari pada fase lanjutan
(atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah
pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali seminggu atau 45
mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi adalah
gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan
lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila
ada gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila
hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan.
Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang
tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat
alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak harus dihindari sampai usia 6
tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan.
Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum pengobatan.
5.
Streptomisin : saat ini
semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini
diberikan 15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50
kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan
intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan
diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50
kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali
seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur
terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan
meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam
keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan
oleh kuman yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang
tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru
(azitromisin dan klaritromisin), 4-kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan
protionamid.
Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis
Obat anti-TB esensial |
Aksi |
Potensi |
Rekomendasi Dosis (mg/kgBB) |
||
Per hari |
Per minggu |
||||
3x |
2x |
||||
Isoniazid (INH) Rifampisin (R) Pirazinamid (Z) Streptomisin (S) Etambutol (E) |
Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakteriostatik |
Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah |
5 10 25 15 15 |
10 10 35 15 30 |
15 10 50 15 45 |
2.8 Komplikasi
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi, diantaranya :
- Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.
- Komplikasi lanjut :
- Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis)
- Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, ARDS.
2.9 WOC TB
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa,
meliputi :
1.
Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui
diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat,
jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
2.
Riwayat Sakit dan Kesehatan
Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan
TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
1)
Keluhan respiratoris, meliputi:
§
Batuk,
nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur darah
§
Batuk darah,
seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood
streak, berupa garis, atau bercak-bercak
darah
§
Sesak napas
§
Nyeri dada
Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk
darah berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan:
§
Batuk darah
masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.
§
Batuk darah
sedang, darah yang dikeluarkan 250-600 cc/24 jam.
§
Batuk darah
ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.
2) Keluhan
sistematis, meliputi:
o Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip
demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin panjang serangannya,
sedangkan masa bebas serangan semakin pendek
o
Keluhan
sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.
Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih
memudahkan perawat dalam melengkapi pengkajian.
Provoking
Incident: apakah ada peristiwa yang
menjadi faktor penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila
beristirahat?
Quality
of Pain: seperti apa rasa sesak napas
yang dirasakan atau digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik
atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi yang
enak dalam melakukan pernapasan?
Region: di mana rasa berat dalam melakukan
pernapasan?
Severity
of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang
dirasakan klien?
Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan,
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul mendadak,
perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul gejala secara
terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang dilakukan klien
saat gejala timbul, lama timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut pertama kali
timbul (onset).
3.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah
dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita TB paru, keluhan batuk
lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening,
dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus. Tanyakan
mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan,
obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping yang
terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat
badan (BB) dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru
berhubungan erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan
mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi TB paru tidak diturunkan,
tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota
keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa
dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data hasil
pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data
ini penting untuk menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual
yang seksama. Pada kondisi, klien dengan TB paru sering mengalami kecemasan
bertingkat sesuiai dengan keluhan yang dialaminya.
6. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System
)
Pemeriksaan fisik pada klien
dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum per system dari observasi
keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3
(Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus
pada B2 dengan pemeriksaan menyeluruh system pernapasan.
Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital
Keadaan umum pada klien dengan TB
paru dapat dilakukan secara selintas pandang dengan menilai keadaaan fisik tiap
bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang kesadaran klien
yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau
koma.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda
vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh
secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas,
denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan
frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit
seperti hipertensi.
B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru
merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan
pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB
paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter
bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila
ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat
adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar intercostals space (ICS) pada sisi
yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi
tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan intercostals
space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa
komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun
demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim
paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas,
dan menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien
dengan TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya
peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen. Periksa jumlah
produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya brokhiektasis yang
membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak.
Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai penunjang
evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks
anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru
tanpa komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas
biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan
dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan
parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat
meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang
dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon bronchial
untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi
konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil
fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal
tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau sonor pada seluruh
lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka
didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong
posisi paru ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru
didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi
perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien
berbica disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan
resonan vocal pada sisi yang sakit.
B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang
didapat meliputi:
Inspeksi
: Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.
Palpasi
: Denyut nadi perifer melemah.
Perkusi
: Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura masif
mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi
: Tekanan
darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.
B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan
adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada
pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis, merintih,
meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya
didapatkan adanya kengjungtiva anemis
pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine
berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya
oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau
yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT
terutama fifampisin.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan
nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang
banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul antara lain kelemahan,
kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.
3.2. DIAGNOSA
Beberapa diagnosa yang bisa diangkat :
- Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah, upaya batuk buruk, dapat ditandai dengan:
o Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak
normal.
o Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi )
stridor.
o Dispnoe.
- Gangguan pertukaran gas berhubungan penurunan dengan permukaan efektif, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema bronchial.
- Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan primer tak adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan / penekanan proses imflamasi, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
- Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
- Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus diminum.
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
- Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema tracheal / faringeal dapat ditandai dengan:
o Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak
normal.
o Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi )
stridor.
o Dispnoe.
- Rencana jangka pendek :
-
Membersihkan nafas pasien.
-
Mengeluarkan sekret tanpa
bantuan.
- Rencana jangka panjang : Menunjukan perilaku untuk memperbaiki / mempertahankan bersihan jalan nafas.
Rencana keperawatan
- Berikan pasien posisi semi atau fowler tinggi, bantu pasien untuk latihan nafas dalam. Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan, ventilasi meksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan.
- Bersihkan sekret dari mulut dan trakea ; pengisapan sesuai dengan keperluan. Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal ( misalnya ; efek infeksi dan atau tidak adekuat hydrasi ) sputum berdarah kental atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan ( kapitasi ) paru atau luka bronkial, dan dapat memerlukan evaluasi / intervensi lanjut. Mencegah obstruksi / aspirasi, penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret
- Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum dan adanya hemoptisis.
- Kaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman serta penggunaan otot aksesori. Rasional : Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronchi, mengi, menunjukan akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan pengguanaan otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan.
2. Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif, atelektasis,
kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema bronchial.
·
Rencana jangka pendek : Menunjukan perbaikan ventilasi dan
oksigenisasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
·
Rencana jangka panjang : Bebas dari gejala distres pernafasan.
Rencana tindakan.
a. Tingkatkan
tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai
dengan keperluan.
b. Tunjukan /
dorong bernafas bibir selama ekhalasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis
atau kerusakan parenkhim.
c. Kaji
diespnoe, tachipnoe, tak normal / menurunnya bunyi nafas, peningkatan
upaya pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada &
kelemahan.
d. Evaluasi
perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan / atau perubahan pada
warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasionalisasi.
- Menurunkan konsumsi O2 / kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
- Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps / penyempitan jalan nafas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan / menurunkan nafas pendek.
- TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneomonia sampai inflamasi difus luas, necrosis, effusi pleural dan fibrosis luas, efek pernafasan dapat dari ringan sampai diespnoe berat sampai diestres pernafasan.
- Akumulasi sekret / pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenisasi organ vital dan jaringan.
3. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran /
aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan primer tak adekuat,
penurunan kerja silia / statis penurunan
pertahanan / penekanan proses imflamasi, malnutrisi, sekret,
kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.
- Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko penyebaran infeksi.
- Tujuan jangka panjang : Menunjukan tehnik / melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Rencana tindakan.
- Anjurkan pasien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tissue & menghindari meludah di tempat umum serta tehnik mencuci tangan yang tepat.
- Kaji patologi / penyakit ( aktif / tak aktif diseminasi infeksi melalui bronchus untuk membatasi jaringan atau melalui aliran darah / sistem limfatik ) dan potensial penyebaran melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah,bicara, dll.
- Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, anggota, sahabat karib / teman.
Rasionalisasi.
- Perilaku yng diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi dapat membantu menurunkan rasa terisolir pasien & membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
- Membantu pasien menyadari / menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang / komplikasi. pemahaman begaiman penyakit disebarkan & kesadaran kemungkinan tranmisi membantu pasien / orang terdekat mengambil langkah untuk mencegah infeksi ke orang lain.
- Orang – orang yang terpajan ini perlu program therapy obat untuk mencegah penyebaran infeksi.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan
dengan proses peradangan ditandai dengan peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
- Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk menurunkan suhu tubuh.
- Tujuan jangka panjang : Meminimalisir proses peradangan untuk meningkatkan kenyamanan.
Rencana tindakan :
- Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan infus
- Monitoring perubahan suhu tubuh
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses peradangan (inflamasi)
- Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga metabolisme dalam tubuh dapat berjalan lancar
Rasionalisasi :
- Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh. Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.
- Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan kemajuan dari pasien.
- Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses peradangan (inflamasi)
- Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem imun bisa melawan semua benda asing (antigen) yang masuk.
5. Resiko regimen terapi berhubungan dengan
banyaknya kombinasi obat yang harus diminum
- Tujuan jangka pendek : memperbaiki gejala, mengurangi resiko infeksi.
- Tujuan jangka panjang : terapi regimen obat
Rencana tindakan :
- Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian kombinasi obat.
- Kaji dari efek penggunaan regimen terapi.
- Berikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang ketidakteraturan berobat akan menyebabkan resistensi.
Rasionalisasi :
- Pengobatan terhadap penyakit TBC memerlukan kombinasi berbagai obat (obat antituberkulosis/ OAT) yang diberikan selama 6 bulan atau lebih untuk dinyatakan sembuh.
- Efek dari penggunaan regimen terapi dapat menyebabkan berbagai komplikasi.
- Kombinasi obat yang telah diberikan telah disesuaikan dengan fase TB paru. Sehingga ketidakteraturan akan menyebabkan resiko resistensi.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
TB paru dapat terjadi dengan peristiwa
sebagai berikut:
Ketika seorang klien TB paru
batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei
dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari
atau suhu udara yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri
ke udara dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang
terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini
terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberkolosis.
SARAN
- Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien dengan TB paru karena merupakan media penularan bakteri tuberkulosis
- Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala adanya TB paru.
- Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan pada penderita TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo,
Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Soeparman
dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.html
diakses pada tanggal 16 November 2010
http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru diakses
pada tanggal 16 November 2010
0 komentar:
Posting Komentar